Kliping Email Group

Kita Harus ‘Serakah’!

Share on :

 Hari itu Minggu, dan  pikir saya, mau bermalas-malasan, sembari cuci mata di Central. Karena  ini hari terkahir saya dinas di Hong Kong. Tiba-tiba BB saya berderit  menyampaikan pesan, "Gue jemput jam 10, kita 'brunch' bersama". Begitu pesan kolega saya. Awalnya saya malas juga. Tapi ia berjanji mau  mengenalkan saya dengan produser film documenter dari Milan. Saya pikir bakal menarik juga.
Siang itu kami akhirnya 'brunch' disebuah café kecil di Central. Saya diperkenalkan dengan Giovanni, yang baru saja membuat film iklan Lexus di Eropa. Dan berencana membuat film dokumenter di Indonesia. Obrolan kami sangat seru, dan berkisar di masalah-masalah per-film-an. Lalu tak lama kemudian, bergabung dengan kami seorang bankir muda wanita. Lalu obrolan menikung dengan topic berbeda.

Sambil menghirup latte pelan-pelan, dia bilang kepada kami, bahwa ia punya pengamatan tentang ekonomi dunia yang sedang malang melintang. Pada prinsipnya ia menghujat korporat raksasa dunia, yang semakin gendut, lamban dan  menghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Secara sederhana ia bicara dua  kubu ekonomi yang selalu berseteru. Antara 'demand' vs 'supply' dan 'majikan' vs buruh'. Dimana Utopia ekonomi adalah ilusi keseimbangan  diantara keduanya. Yang selama sejarah manusia telah dibuktikan sangat absurd, dan tidak pernah ketemu. Selalu saja ada pihak yang serakah dan mencoba mengungkit demand. Akibatnya supply selalu saja berlimpah. Dan terjadi kekacauan ekonomi. Pemerintah mencoba melakukan pemandulan 'demand', tapi yang terjadi adalah bisnis kartel. Itu sebabnya terori  lain mencoba memerdeka-kan dan membebaskan ekonomi dengan 'free trade'. Yang akhirnya hanya melindungi yang kuat.
Dilema berikutnya adalah perseteruan yang tidak pernah berakhir antara majikan melawan buruh. Karena majikan akan terus bertambah makmur dan buruh menjerit, upah yang terus berkurang. Dan ketika buruh diberikan kekuatan serikat dan melawan buruh, maka diberbagai negara maju, dinamika industry dan ekonomi selalu diwarnai dengan pemogokan berserial. Akibatnya ekonomi kita selalu disandera ketimpangan. Dalam versi film Oliver Stone tahun 1987 – The Wall Street – pialang saham Gordon Gekko mengatakan "Greed, for lack of a better word, is good. Greed is right. Greed works. Greed clarifies, cuts through, and captures, the essence of the evolutionary spirit.". Yang secara sinis mengatakan selama ada orang yang serakah, maka ekonomi akan mengalami akslerasi. Tetapi sebaliknya terlalu banyak orang yang serakah maka ekonomi juga akan rontok.
Kalau 'serakah' itu adalah bensin ekonomi. Maka proses apa yang harus kita lakukan agar  'serakah' hilang kebinalan-nya dan menjadi enerji 100% positif. Sang  bankir wanita, sambil menyuap telur dadar dan roti panggang, melanjutkan. Bahwa 'serakah' harus didesain ulang. Dalam hal 'demand' vs 'supply', 'serakah' tidak lagi menjadi keinginan memproduksi sebanyak-banyaknya dengan harga murah, lalu menguasai 'demand' dunia, tetapi menjadi semangat dahaga untuk berinovasi. Dan dalam konteks 'majikan' vs 'buruh', semangat 'serakah' harus diterjemahkan menjadi motivasi bahwa buruh akhirnya harus berani merdeka, bangkit dan menjadi majikan diri sendiri. Bila kedua hal diatas dilebur menjadi satu, maka muncul satu kata sakti "entrepener" alias wirausaha.
Walaupun entrepener dipercaya menjadi penyelamat ekonomi dunia. Kenyataan-nya banyak pemerintah didunia ini yang ogah berpihak kepada kaum entrepener. Kebanyakan cuma basa basi saja. Di Amerika misalnya, kaum kebanyakan dan marjinal menyebut diri mereka sebagai kaum 99%. Yang kebanyakan, rata-rata dengan kemampuan ekonomi yang serba pas dan terbatas. Semata-mata karena ekonomi Amerika dikuasai oleh kaum 1% yang kaya raya dan berkuasa menyandera ekonomi. Begitu tuduhan mereka. Inilah permasalahan yang dituduhkan menjadi kemelut benang kusut ekonomi dunia saat ini. Solusinya tentu saja secara praktis adalah pemerataan. Yang sangat tidak mungkin lagi di-era globalisasi saat ini.
Teman saya sang Bankir wanita, lalu menyebut Singapura dan Hong Kong, yang jumlah entrepenernya sangat banyak. Karena bila dilihat secara praktis keduanya tidak memiliki sumber daya apa-pun. Hampir semuanya, mulai dari makanan hingga lain-lain-nya praktis di impor. Namun ekonomi mereka tetap bertahan. Minimal di tahap pengusaha mikro. Sehingga setiap terjadi  krisis ekonomi dunia, yang sakit kepala lebih banyak pengusaha gede, dan pengusaha korporat. Pengusaha kopi, mie, di pinggir jalan, tetap saja laris dan bertahan. Kalaun ada yang bangkrut, akan digantikan oleh yang baru dalam sekejap. Menurut Bank Dunia 2012, Singapore dan Hongkong berada diurutan 1 dan 2 dalam kemudahan berusaha. Bandingkan dengan Indonesia yang berada diurutan 129.
Aktivitas entrepener dunia saat ini berkisar dibawah 12% dari total GDP. Beberapa Negara kecil seperti Peru dan Bolivia sudah diatas 30%. Demekian juga beberapa Negara di ASIA seperti China, India dan Philipina yang sudah diatas 20%. Belajar dari pengalaman berbagai Negara didunia ini, Indonesia 2014 harus punya presiden entrepener. Yang berani 'serakah' untuk memotivasi masyarakat Indonesia bermimpi dan bercita-cita menjadi pengusaha.
Ide dan inovasi yang cemerlang seringkali datang dari entrepener. Karena semata-mata sifat persaingan mereka yang sangat ketat. Korporasi dan pengusaha besar, lebih tertarik pada efsiensi dan laba. Naluri dan persaingan korporasi lebih mengarah pada Price Earnings Ratio dan Return on Investment. Bukan kepada inovasi. Jadi Indonesia 2014, mestinya punya visi serius tentang mencetak entrepener dan pengusaha muda. Yang penuh ide dan inovasi. Pasar Indonesia sendiri akan tumbuh beragam dengan cluster yang memiliki keragamanan tema dan sumber daya. Bali misalnya akan menjadi ekonomi dengan pemicu turisme. Jakarta akan dipicu dengan industri pelayanan dan permodalan. Jawa Timur mungkin akan dipicu dengan industry hortikultura. Keragaman ini akan membuat Indonesia menjadi epicentrum ekonomi baru di ASIA. Bank Dunia meramalkan pada tahun 2014, Indonesia akan memiliki 150 juta konsumen kelas menengah. 30 juta dari 150 juta itu akan menjadi konsumen kelas menengah atas. Saat ini GDP kita sudah diatas $3.400.- dan mungkin setelah tahun 2014 akan menembus $ 5.000.-.
Jadi 'serakah' bukanlah semangat yang negatif. Tinggal kita member arti dan nilai yang positif. Masalahnya apakah kita bakal punya presiden yang mau mewujudkan kecermelangan ekonomi kita era 2020 ?? Kalau ada – siapakah orangnya ????

-Kafi Kurnia-

0 komentar on Kita Harus ‘Serakah’! :

Post a Comment and Don't Spam!